Kamis, 01 Mei 2014

makalah pendaftaran tanah


DOSEN : PROF. FARIDA PATITTINGI.

PENDAFTARAN TANAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Masalah pertanahan di Indonesia sudah ada ketentuan yang mengatur sejak sebelum jaman penjajahan Belanda, tepatnya sebelum tahun 1870 pertanahan sudah diatur dengan keputusan raja, yang pada saat itu kepemilikan terhadap tanah mutlak berada pada raja beserta bawahannya, sedangkan rakyat tidak diperkenankan untuk mempunyai hak kepemilikan terhadap tanah. Hak yang ada pada rakyat hanyalah kewenangan sebagai penggarap dengan bagian separuh dari hasil, sedangkan separuhnya lagi harus diserahkan kepada raja. Timbulnya hak petani penggarap harus didahului dengan permohonan dari para petani itu sendiri kepada raja, dan apabila raja mengijinkan maka dikeluarkan ijin kepada petani peng saja garap, dan mulai saat itulah seorang petani penggarap mulai mempunyai wewenang menggarap tanah.
Pada jaman penjajahan Belanda hak tanah masih dalam kekuasaan pemerintahan, hanya saja pada saat itu rakyat telah mulai diberi hak sewa dari raja. Pada jaman pemerintahan Rafles Tahun 1811-1816 menciptakan sistem Landrente artinya sewa tanah raja, bukan sewa tanah pemerintah, pada saat itu petani atau masyarakat hanyalah berperan sebagai penyewa bukan sebagai pemilik atas tanah. Pada saat itu pendaftaran tanah telah dilakukan hanya saja terbatas pada tanah yang disewa para penyewa.  Hak atas tanah ini kemudian berkembang pada tahun 1854, yang semula terbatas pada petani penggarap berkembang kepada pihak swasta dengan jangka waktu tertentu.
Keserakahan  Belanda terhadap Negara jajahannya tidak henti-hentinya dengan menciptakan sistim tanam paksa selama 40 tahun (1831-1870). Dengan Tanam Paksa, semua keuntungan dibawa ke negeri Belanda dengan motto Java Was De Kurt Waarop Nederland Dreef artinya Jawa menjadi gabus tempat negeri  Belanda terapung. Pemerintah Belanda memberlakukan hukum agraria dengan dasar Pasal 51 I.S dengan ketentuan ;
1.      Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah kecuali tanah skala kecil untuk perluasan kota.
2.      Gubernur Jendral dapat menyewakan tanah.
3.      Gubernur Jendral dengan hak efrach paling lama 75 tahun.
4.      Tanah rakyat asli tidak boleh dipergunakan oleh Gubernur Jendral kecuali untuk kepentingan umum atau perkebunan.
5.      Persewaan tanah oleh rakyat asli diatur dengan Agraris Wet, lembaran Negara 1870 No. 118, yang asas utamanya dalam kepemilikan tanah disebut Asas Domein, artinya tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom menjadi Domein Negara (milik Negara).
Hukum Agraria pada jaman Belanda pada prinsipnya ;
1.      Tidak mengatur tata cara peralihan hak, tidak ada patokan prosedur dan tata cara peralihan hak. Jika terjadi perlaihan hak tidak ada perlindungan hukum, yang mengakibatkan tidak ada kepastian hukum, yang ada hanya kepercayaan antara yang mengalihkan dan yang menerima hak.
2.      Tidak mengatur tata cara penguasaan tanah, penguasaan tanah semata-mata hanya fisik saja, dan tidak ada penguasaan secara adminstratif yuridis.
3.      Tidak mengatur alat bukti hak atas tanah, karena tidak ada proses adminstratif yuridis. Alat buktinya cukup alat bukti saksi dari seseorang atau pihak lain.
Hukum Agraria jaman Belanda berorintasi pada pemasukkan dana melalui pemungutan pajak tanah demi kepenting Belanda. Kepemilikan tanah tidak disertai dengan alat bukti kepemilikan, akibatnya para pemilik tanah dilihat dari sudut pandang juridis sama saja tidak ada kepemilikan terhadap tanah.  Inilah yang berlangsung terus menerus.
Sebelum berlakunya ketentuan Pendaftaran Tanah, maka yang berlaku adalah ketentuan mengenai Overschrijvings Ordonantie (Ordonansi Balik Nama). Tujuannya adalah :
1.      Mengatur kembali ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran hak.
2.      Mengatur kembali ketentuan-ketentuan bea balik nama.
Setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, maka untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini membawa dampak positif terhadap jaminan kepada masyarakat akan kepastian hukum hak atas tanah, sehingga status tanah tidak lagi seperti pada jaman Belanda. Berbagai aturan telah diterbitkan oleh Pemerintah sehubungan dengan pendaftaran tanah, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan melakukan pendaftaran tanah masyarakat mendapatkan bukti hak dalam bentuk sertipikat, sertipikat inilah yang membuat masyarakat merasa aman untuk melakukan perbuatan hukum. Namun dalam kenyataannya bahwa tidak sedikit permasalahan yang timbul dalam  masyarakat walaupun tanah telah didaftarkan sesuai prosedur yang berlaku. Tidak jarang terjadi satu bidang tanah dengan lokasi yang sama diakui oleh 2 (dua) orang atau lebih, dan masing-masing pihak membuktikan dengan sertipikat, hal ini sering dikenal dengan sertipikat ganda atau overlapping.  

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, adapun  rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apakah dengan sertipikat yang diperoleh telah menjamin  kepastian hukum hak atas tanah?
2.      Mengapa sertipikat ganda atau overlapping bisa terjadi?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Tinjauan Pustaka
2.1.1        Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Menurut Pasal 19 (1)  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria  (UUPA) menyebutkan bahwa ;
1.      Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik  Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.      Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a.   pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.   pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-haktersebut;
c.   pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
      pembuktian yang kuat.
3.      Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4.      Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Disamping kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai pasal 23, pasal 32, dan pasal 38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut ;
1.      Pasal 23 UUPA  Ayat 1 : Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
2.      Pasal 32 UUPA, Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
3.      Pasal 38 UUPA  Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.    Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka diterbitkanlah  beberapa peraturan-peraturan diantaranya : Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan akan kepastian hukum Hak Atas Tanah, sehingga diperbaharui dengan ;  Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tertanggal 8 Oktober 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NAsional No. 3  Tahun 1997.
Walaupun  Peraturan Pemerintah  No. 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku lagi, namun peraturan pelaksanaan yang menyertainya tetap dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan, diubah atau diganti dalam PP 24 Tahun 1997.

2.1.2        Pengertian Pendaftaran Tanah
Sesuai pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran Tanah adalah  Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Data fisik yang dimaksud adalah, mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data Yuridis adalah mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun.



2.1.3        Tujuan dan Manfaat Pendaftaran Tanah
Tujuan Pendaftaran Tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu ada 3 (tiga) ;
1.      Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah, rumah susun atau hak lain yg terdaftar. Agar mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak
2.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3.      Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W.Sumardjono bahwa manfaat dari pendaftaran tanah dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu ;
1.      Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.
2.      Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.
3.      Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.

2.1.4        Asas Pendaftaran Tanah
Asas pendaftaran tanah dapat dilihat dalam pasal 12 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi ;
1.      Sederhana, yaitu asas dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok dan tatacaranya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah.
2.      Aman, yaitu suatu asas yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3.      Terjangkau, asas yg dimaksudkan bahwa keterjangkauan bagi pihak-pihak yg memerlukan, dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.
4.      Mutakhir, adanya kelengkapan data yg memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, sehingga data pendaftaran tanah harus dipelihara. Data disimpan dalam bentuk buku tanah di kantor pertanahan dan harus selalu diperbaharui jika ada perubahan.
5.      Terbuka, masyarakat  dapat memperoleh keterangan tentang data yang benar setiap saat.

2.1.5        Objek Pendaftaran Tanah
Objek pendaftaran tanah terdapat dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi ;
1.   bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
2.   tanah hak pengelolaan;
3.   tanah wakaf;
4.   hak milik atas satuan rumah susun;
5.   hak tanggungan;
6.   tanah Negara.

2.1.6        Sistem Pendaftaran Tanah
Ada 2 macam sistem pendaftaran tanah yaitu ;
1.      Sistem pendaftaran akta atau registration of deeds.
2.      Sistem pendaftaran hak atau registration of titles, titles dalam arti hak yang lebih dikenal dengan sistem Torrens.
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak atau registration of title , hal ini tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang terhimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang di daftar.
Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data juridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24 Tahun 1997.  Sertipikat diterbitkan sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah untuk kepentingan pemegang hak.

2.1.7        Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah
Menurut Boedi Harsono, menyatakan bahwa sistem publikasi dalam pendaftaran tanah digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu ;
1.      Sistem Positif
Sistem ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak (absolute) serta sertipikat merupakan bentuk satu-satunya tanda bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka meski ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikasi sebagai surat tanda bukti hak. Pencatatan dan pendaftaran nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang menjadi pemegang hak atas tanah  yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan (title by registration, the register is everything).  Apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Perolehan tanah dengan etikad baik melalui cara sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan kepada pihak yang memperolehnya suatu hak yang “indefeasible” yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, juga oleh pihak yang sebenarnya berhak sekalipun.
2.      Sistem Negatif
Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang baru. Sistem publikasi negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yg tercantum didalam sertipikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka pengadilan. Surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, yang berarti pula bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum danharus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.
Sistem publikasi menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah sistem publikasi negatif  bertendensi positif. Artinya sistem  negatif  yang  mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seprti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23 ayat 2, pasal 32 ayat2 dan pasal 38 ayat 2 UUPA. Sistem Publikasi yang dianut adalah bukan sistem negatif murni, karena pejabat pendaftaran tanah dalam rangka pengumpulan data bersikap passif dan pada umumnya menggunakan sistem pendaftaran akta yang memuat data itulah yang didaftar. Dalam akta tersebut oleh pejabat pendaftaran dibubuhkan catatan bahwa telah dilakukan pendaftarannya. Akta itulah yang merupakan tanda bukti hak.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan atas perintah Pasal 19 UUPA, menghasilkan alat pembuktian yang kuat (bukan mutlak = positif), menurut para pejabat pendaftaran tanah dalam mengumpulkan data fisik dan data yuridis, sejauh mungkin berusaha memperoleh data yang benar.  Data pada pendaftaran tanah meliputi: Data fisik, kegiatan pengumpulan data fisik meliputi penetapan batas, pengukuran dan pemetaan tanah yang bersangkutan (diatur dalam pasal 17,18,19 dan 20 PP 24/1997). Pengumpulan data yuridis diatur dalam pasal 23,24 dan 25 PP 24/1997. Dibedakan antara hak baru dan hak lama. 

2.1.8        Alat Bukti Kepemilikan Tanah
Pengumpulan data yuridis hak-hak lama diatur dalam pasal 24(1), yaitu hak-hak atas tanah yang data yuridisnya bersumber pada alat-alat bukti pemilikan tanahnya. Sedang yang diatur dalam pasal 24(2) yaitu hak-hak atas tanah yang bukti-bukti yuridisnya bersumber pada alat-alat bukti penguasaan atas tanah.
Alat bukti pemilikan tanah menurut pasal 24(1) bisa berupa alat-alat tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yangbersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Ada 3 (tiga) kemungkinan alat pembuktiannya ;
1.      Bukti tertulisnya lengkap, tidak memerlukan bukti lain.
2.      Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi ; diperkuat keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan
3.      Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi, diganti keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan.
Untuk hak atas tanah-tanah baru dibuktikan dengan ;
1.      Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang apabila hak tersebut dari tanah negara atau hak pengelolaan
2.      Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak oleh pemegang hak milik kepada penerima hak bangunan atau hak pakai atas tanah.
3.      Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.
4.      Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf.
5.      Hak milik atas satuan umah susun, dibuktikan dengan akta pemisahan.
6.      Pemberian hak tanggungan, dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.


2.1.9        Pendaftaran Tanah Secara Sistimatik
Pendaftaran tanah secara sistimatik menurut Boedi Harsono adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi :
1.      Pembuatan peta dasar pendaftaran
2.      Penetapan batas bidang-bidang tanah
3.      Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dan peta pembuatan
4.      Pembuatan daftar tanah
5.      Pembuatan surat ukur.
Pendaftaran tanah secara sistimatik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan dalam wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistimatik, pendaftarannya dilakukan dengan cara “sporadik”
Salah satu program pemerintah dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistimatik adalah melalui kegiatan  Land Management and Policy Development Project (LMPDP). Proyek ini dilaksanakan atas bantuan biaya dari Word Bank kepada Pemerintah Indonesia. Seluruh biaya dalam proses pendaftaran tersebut, pihak pemiliktanah dibebaskan dari pembayaran.


Tujuan LMPDD adalah ;
2.        Meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah dan meningkatkan efisiensi dan transparansi serta memperbaiki kualitas  pelayanan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya.
3.        Memperbaiki kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi menajemen pertanahan secara efisien dan transparansi.

2.1.10    Sertipikat Sebagai Alat Pembuktian Yang Kuat
Menurut pasal 1 poin 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertipikat adalah surat tanda bukti hak yang memuat data yuridis dan data fisik obyek yang didaftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian sertipikat meliputi 2 hal yaitu ;
1.      Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
2.      Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut, yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau oleh orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya (pasal 32(2) PP No. 24 Tahun 1997).

2.1.11    Peranan Kepala Desa dan PPAT Dalam Pendaftaran Tanah
Kepala Desa mempunyai tugas-tugas strategis dalam membantu pelaksanaan penylenggaraan pendaftaran Tanah yaitu ;
1.      Sebagai anggota panitia ajudikasi yaitu pembantu pelaksana pendaftaran tanah.
2.      Berwenang untuk membuat surat keterangan yang menguatkan sebagai bukti hak.
3.      Untuk daerah kecamatan di luar kota tempat kedudukankantor pertanahan, surat keterangan Kepala Kantor Pertanahan dapat diganti oleh surat pernyataan Kepala Desa.
4.      Didalam pendaftaran tanah, karena pewarisan, Kepala Desa berhak membuat surat keterangan yang membenarkan surat bukti hak sebagai ahli waris.
5.      Untuk desa terpencil, Menteri Negara Pertanahan (BPN) dapat menunjuk Kepala Desa sebagai PPAT Sementara.
PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, sejak ditandatanganinya aktai atau sejak dilakukannya perbuatan hukum terhadap tanah, PPAT wajib menyampaikan akta dan dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

2.1.12    Sertipikat Ganda
Istilah ganda dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai dua ataupun tiga kali lipat atau kelipatannya. Menurut Soni Harsono, sertipikat ganda yaitu adanya 2 (dua) atau lebih sertipikat pada satu bidang tanah yang sama. Menurut  Ali Achmad Chomzah, sertipikat ganda adalah sertipikat-sertipikat yang menguraikan satu bidang tanah yang sama, dengan demikian satu bidang tanah diuraikan dengan 2 (dua) sertipikat atau lebih yang datanya berlainan.
Terjadinya sertipikat ganda ini merupakan salah satu akibat adanya tumpang tindih dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah yang disebut cacat hukum administrasi. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan, Sertipikat Hak Atas Tanah yang cacad hukum administratif adalah sertipikat Hak Atas Tanah yang mengandung kesalahan antara lain sebagai berikut :
a.       Kesalahan prosedur
b.      Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
c.       Kesalahan subjek hak
d.      Kesalahan objek hak
e.       Kesalahan jenis hak
f.       kesalahan perhitungan luas
g.      terdapat tumpang tindih hak atas tanah
h.      data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
i.        kesalahan lainnya yang bersifat administratif.
Yang tidak dikategorikan sebagai sertipikat ganda adalah
a.       Sertipikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertipikat yang hilang;
b.      Sertipikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertipikat yang rusak.
c.       Sertipikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertipikat yang dibatalkan
Menurut Sudarisman Widyodiharjo, penyebab terjadinya sertipikat ganda adalah ;
1.      Alas hak (alas bukti hak) tidak ditarik secara keseluruhan oleh pihak Pertanahan pada saat sertifikasi dilakukan.
2.      Adanya pemalsuan dokumen oleh pemohon.
3.      Adanya pembukuan/pencatatan yang tidak benar baik yang dipalsukan/kurang tertibnya adminstrasi pada Badan Pertanahan Nasional.
4.      Adanya kolusi antara BPN dan pihak ketiga atas penerbitan sertipikat.
Sertipikat ganda berarti terjadi tumpang tindih sebidang tanah, baik tumpang tindih sebagian maupun tumpang tindih seluruhnya, dan oleh Pertanahan setempat diterbitkan 2 (dua) sertipikat.  Pemerintah dalam hal ini memegang peranan besar atas terbitnya sertipikat ganda, dimana Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah satu-satunya instansi pemerintah yang berwenang untuk menerbitkan bukti hak atas tanah bagi masyarakat.

2.2 Analisis
2.2.1   Sertipikat  Tanah  Bukan  Jaminan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah.
Berdasarkan uraian diatas, Negara telah menyediakan perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari ketentuan dalam konstitusi sampai kepada aturan organiknya yang berfungsi sebagai norma hukum dalam rangka memastikan segala sesuatu yang menyangkut pengelolaan atas tanah harus sesuai dengan aturan hukum dengan tujuan ideal berupa pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat, termasuk di dalamnya mengatur mengenai pendaftaran  tanah untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah.
Dengan kekuatan pembuktian bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Untuk itu sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 
Salah satu tujuan dari Pendaftaran Tanah yaitu  untuk memberikan kepastian hukum hak milik atas tanah terhadap masyarakat sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997  seutuhnya belum terlaksana dengan baik sebagai bukti bahwa peringkat pertama di setiap pengadilan Negeri di Indonesia masih ditempati oleh konflik-konflik sengketa pertanahan dan terkait dengan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pihak yang merasa mempunyai sesuatu kepentingan terkait hak atas tanah yang didaftarkan oleh seseorang, dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tanah, dapat melakukan gugatan dalam rangka mempertahankan haknya, kecuali dapat dibuktikan tidak adanya itikad baik dalam perolehan sertifikat tersebut. Sesuai dengan pasal ini secara jelas dan tegas pembentuk UU bersifat mendua. Disatu sisi mempunyai keinginan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang sudah bersertifikat, tetapi di sisi lain juga tidak mempunyai keyakinan atas kebenaran data fisik maupun data yuridis yang digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah hingga terbitnya sertifikat. Oleh karena itu sampai saat ini janji untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah belum dirasakan oleh masyarakat.
Dengan Pendaftaran Tanah,  sesungguhnya telah terjalin hubungan yang serasi, seimbang dan harmonis diantara keanekaragaman norma yang ada & berlaku ditengah-tengah masyarakat (cultur, norma, adat & agama) untuk mendaftarkan tanahnya. Maka untuk ini Pemerintah harus dapat secara konsisten menjalankan peraturan hukum pertanahan yang ada, selain itu juga sangat diharapkan supaya produk-produk hukum (Undang-Undang maupun Perda) dikaji baik yang sudah ada maupun yang sudah ada supaya tidak terjadi peraturan yang tumpang tindih. Apabila hal ini terjadi akan sangat berpengaruh pada kewibawaan pemerintah sendiri selaku penentu kebijakan. Selain itu pula harus ada sikap profesionalisme dari pihak BPN selaku pihak dari pemerintah yang mengurusi masalah pendaftaran tanah karena salah satu indikator bisa memunculkan konflik-konflik berawal dari titik tersebut.
Apabila ditinjau dari pengertian sertifikat itu sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Pada kenyataannya bahwa seseorang atau suatu badan hukum menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang bersangkutan tidak serta merta langsung membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas tanah yang dimaksud.
Adanya surat-surat jual beli, belum tentu membuktikan bahwa yang membeli benar-benar mempunyai hak atas tanah yang di belinya. Apalagi tidak ada bukti otentik bahwa yang menjual memang berhak atas tanah yang dijualnya. Dalam konteks inilah terjadi pendudukan tanah secara tidak sah melalui alat bukti berupa dokumen (sertifikat) yang belum dapat dijamin kepastian hukumnya.

2.2.2        Terjadinya Sertipikat Ganda
Pada dasarnya sertipikat ganda terjadi tidak terlepas dari peran Pemerintah dalam hal ini oleh Badan Pertanahan Nasional setempat selaku satu-satunya instansi yang berwenang menerbitkan sertipikat hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena ;
1.      Pada saat dibukukan pengukuran ataupun penelitian dilapangan  pemohon dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menunjuk letak tanah dengan batas-batas yang salah.
2.      Adanya surat, alat bukti, atau pengakuan haknya dibelakang hari terbukti mengandung ketidak benaran, kepalsuan atau tidak berlaku lagi.
3.      Untuk wilayah yang bersangkutan belum tersedia peta pendaftaran tanahnya.
Hal ini sebenarnya tidak akan terjadi jika penerbitan sertipikat terlebih dahulu didasari oleh pemetaan yang cermat dan dipetakan dalampeta dasar. Kasus sertipikat ganda dapat pula terjadi pada tanah warisan, dimana sebelum meninggalnya pemilik telah menjual kepada pihak lain, tanpa diketahui oleh anak-anaknya atau ahli warisnya. Setelah pemilik meninggal anak-anak atau ahli warisnya  mendaftarkan tanah tersebut sehingga terjadilah sertipikat ganda, karena ternyata sertipikat terdahulu belum dipetakan.  
Faktor-faktor penyebab sertipikat ganda dipengaruhi oleh factor ekstern dan intern. Faktor intern yang dimaksud adalah ;
1.      Tidak dilaksanakannya UUPA dan peraturan-peraturannya secara konsekwen dan bertanggung jawab serta adanya pihak-pihak yang berbuat untuk memperoleh keuntungan pribadi.
2.      Kurang berfungsinya aparat pengawas, sehingga memberikan peluang pada aparat bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3.      Ketidak telitian pejabat kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertipikat, yaitu dokumen-dokumen sebagai syarat terbitnya sertipikat tidak diteliti secara seksama sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
4.      Kantor Pertanahan selaku instansi Pemerintah yang menerbitkan sertipikat sangat bergantung pada instansi Pemerintah lainnya, seperti kantor desa/camat dan kantor perpajakan.
Faktor-faktor ekstern yang dimaksud adalah ;
1.      Masyarakat masih kurang mengetahui dan belum memahami mengenai peraturan perundangan menganai prosedur pembuatan sertipikat tanah.
2.      Persediaan tanah yang tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah dan ekonomi masyarakat itu sendiri.
3.      Pembangunan mengakibatkan kebutuhan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah pertanian ke non pertanian, yang meningkatkan harga tanah yang semakin melonjak.
Didaerah padat penduduk juga sering terjadi pemegang sertipikat dan BPN tidak mengetahui letak tanahnya, hal ini dapat disebabkan oleh ; Pembeli tidak pernah melihat batas-batas tanahnya, pengukuran yang tidak tertib bahkan tidak professional, Adanya alas hak yang tidak benar atau dipalsukan.
Terjadinya sertipikat ganda tidak sepenuhnya mempersalahkan pemilik/pemohon tetapi pada tingkat tertentu aparat Negara yang terkait yakni BPN, Lembaga Perbankan, Kantor Pelayanan Pajak, Notaris/PPAT, Camat, Kepala Desa, Lurah telah mendorong terjadinya sertipikat ganda.

















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Salah satu tujuan dari Pendaftaran Tanah yaitu  untuk memberikan kepastian hukum hak milik atas tanah terhadap masyarakat sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997  seutuhnya belum terlaksana dengan baik sebagai bukti bahwa peringkat pertama di setiap pengadilan Negeri di Indonesia masih ditempati oleh konflik-konflik sengketa pertanahan dan terkait dengan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pihak yang merasa mempunyai sesuatu kepentingan terkait hak atas tanah yang didaftarkan oleh seseorang, dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tanah, dapat melakukan gugatan dalam rangka mempertahankan haknya, kecuali dapat dibuktikan tidak adanya itikad baik dalam perolehan sertifikat tersebut. Sesuai dengan pasal ini secara jelas dan tegas pembentuk UU bersifat mendua. Disatu sisi mempunyai keinginan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang sudah bersertifikat, tetapi di sisi lain juga tidak mempunyai keyakinan atas kebenaran data fisik maupun data yuridis yang digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah hingga terbitnya sertifikat. Oleh karena itu sampai saat ini janji untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah belum dirasakan oleh masyarakat.  Sertipikat berlaku hanya sebagai alat pembuktian yang kuat, artinya  selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
 Penyebab terjadinya sertipikat ganda disebabkan oleh kesalahan dari Pemilik tanah/pemohon itu sendiri dan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional selaku instansi yang menerbitkan sertipikat. Secara garis besar penyebabnya adalah ;
1.      pemohon dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menunjuk letak tanah dengan batas-batas yang salah.
2.      Adanya surat, alat bukti, atau pengakuan haknya dibelakang hari terbukti mengandung ketidak benaran, kepalsuan atau tidak berlaku lagi.
3.      Untuk wilayah yang bersangkutan belum tersedia peta pendaftaran tanahnya.
4.      Tidak dilaksanakannya UUPA dan peraturan-peraturannya secara konsekwen dan bertanggung jawab, dan Kurang berfungsinya aparat pengawas.
5.      Ketidak telitian pejabat kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertipikat.
6.      Ketergantungan BPN pada instansi Pemerintah lainnya, seperti kantor desa/camat dan kantor perpajakan dan keterlibatan Pejabat Umum.
7.      Masyarakat kurang memahami mengenai peraturan perundangan menganai prosedur pembuatan sertipikat tanah.
8.      Persediaan tanah yang tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah dan ekonomi masyarakat itu sendiri.
9.      Pembangunan mengakibatkan kebutuhan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah pertanian ke non pertanian, yang meningkatkan harga tanah yang semakin melonjak.
10.  Pembeli tidak pernah melihat batas-batas tanahnya.
11.  Pengukuran yang tidak tertib bahkan tidak professional.
12.  Adanya alas hak yang tidak benar atau dipalsukan.
3.2 Saran
Dengan harapan terciptanya kepastian hukum hak atas tanah, serta tidak terjadinya tumpang tindih  overlapping atau sertipikat ganda, maka berdasarkan kesimpulan sebelumnya direkomendasikan beberapa saran, yaitu;
1.      Pelaksanaan pendaftaran tanah hendaknya memanfaatkan teknologi tinggi, komputerisasi di bidang pengukuran dan pemetaan yang akurat dan cepat, dan ditunjung oleh sumber daya manusia yang berkwalitas dan handal dibidangnya.
2.      Melaksanakan pendaftaran tanah sesuai dengan koridor hukum dan prosedur yang telah ditetapkan disetiap unit kerja dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
3.      Badan Pertanahan Nasional, melalui program pengadaan Peta Pendaftaran Tanah harus lebih diefektifkan dengan menyediakan Peta Pendaftaran Tanah di seluruh Wilayah Indonesia.
4.      Meningkatkan pengawasan terhadap kinerja dan tanggung jawab aparat pelaksana pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, serta selalu memberikan binaan moral dan etika secara kontinyu, sehingga kolusi yang terjadi dapat diminimalisir.



DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku
Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar Grfika.
Aminuddin Salle dkk. 2010. Bahan Ajar Hukum Agraria. Makassar ; AS Publishing
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.  Jakarta : Djambatan
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.  Jakarta : Djambatan
Irawan Soerodjo. 2002. Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya : Arloka
Mudakir Iskandar. 2007. Dasar-dasar Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum. Jakarta : Jala Permata


Makalah/Jurnal/Karya Ilmiah/Peraturan Perundang-undangan
Maria S.W.Sumardjono. 1997.  Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Dalam Pendaftaran Tanah. Disampaikan pada Seminar Nasional Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-Pajak Yang Terkait.
Riana Budhijani. 2004. Tinjauan Juridis Sertipikat Ganda di Banjarnegara. Semarang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


Situs Internet
www.landpolicy.or.id, Kajian dan Artikel Pendaftaran Tanah, diakses pada tanggal 15 Desember 2010, pukul 22.15 WITA.
www.pena.aminuddinsalle.com, Kepastian dan Perlindungan Hukum Pendaftaran Taanah,  diakses pada bulan November 2010.


Tidak ada komentar: