MATA KULIAH : HUKUM PERIKATAN
NAMA DOSEN : Dr. HASBIR, S.H., M.H.
========================================================================
KONTRAK DALAM SISTEM HUKUM INTERNASIONAL
Perlindungan terhadap hubungan antara orang
atau antar perusahaan yang bersifat batas negara dapat dilakukan dengan cara :
a.
Secara publik;
Dilakukan dengan cara
memanfaatkan fasilitas perlindungan yang disediakan oleh ketentuan-ketentuan
yang bersifat publik, seperti peraturan perundang-undangan domestik dan
perjanjian internasional, bilateral maupun universal.
b.
Secara privat.
Yaitu dengan cara berkontrak
yang cermat.
Dalam dunia bisnis yang banyak digunakan oleh
masyarakat adalah hukum privat atau secara privat.
Beberapa alasan yang mengakibatkan penggunaan
seperti adalah:
1.
Berubahnya orientasi masyarakat
dunia setelah Perang Dunia II ke arah pembangunan ekonomi global.
2.
Pesatnya pertumbuhan kebijakan,
bentuk dan materi transaksi bisnis internasional.
3.
Kurang lengkapnya materi hukum
publik (sistem perundang-undangan) berkaitan dengan variasi bentuk dan materi
transaksi.
Sebelum menjalin kontrak dengan seseorang yang
berkewarganegaraan lain, terlebih dahulu harus diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1.
Memahami sistem hukum yang
mempengaruhi kontrak di negara tersebut;
2.
Harus memahami perbedaan sistem
hukum di negara masing-masing;
3.
Mengecek latar belakang calon
mitra masing-masing.
Hal tersebut diatas penting karena :
2.
Hukum di salah satu negara mungkin
lebih menguntungkan dari pada di negara lain.
Setelah mengetahui
kesulitan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang menjalin kontrak lintas negara,
masyarakat internasional mulai mengadopsi sistem hukum dan peraturan yang bisa
diterapkan dalam transaksi pihak-pihak yang berlokasi di negara yang berbeda.
Tujuan dari pengadopsian hukum internasional yang seragam adalah untuk
memastikan bahwa semua pihak yang melakukan transaksi lintas batas negara
menjadi subjek seperangkat peraturan yang sama, tidak peduli bahwa hukum yang
berlaku dinegaranya masing-masing berbeda.
Secara umum sangatlah tidak
bijaksana mendasarkan persyaratan kontrak pada hukum, bahkan hukum
internasioanal sekalipun. Penerapan hukum internasional untuk menafsirkan
sebuah kontrak bisa mengarah pada hasil yang tidak diduga dan tidak diinginkan.
Misalnya, dalam suatu kontrak
jual beli internasional, penjual gagal memenuhi batas waktu pengiriman yang
ditetapkan. Kemudian pembeli menuntut penjual karena kegagalan memenuhi batas
waktu pengiriman satu bulan. Di negara pembeli, kontrak tersebut mungkin
dianggap tidak valid karena ada persyaratan penting yang tidak dimasukkan.
Tetapi jika di pengadilan menerapkan hukum internasional, berdasarkan praktek
yang biasa berjalan dalam industri tersebut mungkin akan menetapkan dua bulan
sebagai waktu penyerahan yang masuk akal sehingga mungkin bisa menegakkan
kontrak tersebut.
Untuk menghindari hasil yang
tidak menyenangkan dan di duga, ketika melakukan kontrak dengan pihak negara
lain, harus didefinisikan dengan tepat hak dan kewajiban dalam kontrak
tertulis. Kontrak harus menyatakan secara jelas persyaratan-persyaratannya
sehingga kedua pihak akan memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang harus
diterima.
Kontrak yang dikonsep dengan baik
akan sangat membantu memastikan bahwa pihak-pihak yang memiliki latar belakang
budaya berbeda mencapai pemahaman bersama dengan mempertimbangkan hak dan
kewajiban masing-masing. Semua pihak yang menjalin kontrak hadir dengan
ekspektasi masing-masing, yang pada gilirannya mewarnai pemahaman mereka
terhadap persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam kontrak. Sesuatu yang
masuk akal bagi satu pihak, mungkin tidak bisa diterima akal pihak lain, hal
mana perlu di bicarakan bersama sehingga muncul pemahaman yang sama. Hal ini
merupakan elemen penting dalam pembuatan sebuah kontrak agar bisa dijalankan
dan ditegakkan.
Kontrak yang mencerminkan
ekspektasi budaya masing-masing pihak kemungkinan besar bisa dijalankan secara
memuaskan bagi kedua pihak. Pemahaman bersama tidak sekedar berarti bahwa
masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya sebelum membubuhkan tanda
tangan, tetapi pihak-pihak tersebut harus memiliki kesepakatan yang tuntas
mengenai hak dan kewajiban. Persengketaan biasanya muncul ketika salah satu
pihak menafsirkan hak dan kewajiban dengan cara yang berbeda dengan pihak lain.
Ada kecenderungan hukum di banyak
negara dan sudah pasti pada gilirannya hukum internasional di antara berbagai
negara untuk mengakui kontrak sebagai basis transaksi bisnis, meskipun kontrak
tersebut tidak mencakup seluruh persyaratan yang esensial. Jika muncul
persengketaan dan ternyata persyaratan yang esensial tersebut ada yang tidak
tercakup, atau tidak jelas maksud dari masing-masing pihak, bisa didasarkan
pada praktek perdagangan atau keuangan yang sudah biasa dilakukan.
Pada dasarnya,
hakim, arbitrator pembuat peraturan dan pembuat hukum lebih menyukai
kesepakatan bisnis yang dibuat berdasarkan kebiasaan praktek bisnis. Ada
anggapan apabila individu atau konsumen berada dalam payung adat istiadat
berbisnis, mereka lebih terlindungi dari kesepakatan yang merugikan akibat
kontrak yang dibuatnya tidak mencantumkan seluruh persyaratan esensial. Tetapi
untuk amannya, setiap kali melakukan transaksi jangan mendasarkan pada kontrak
kebiasaan semata tetapi harus selalu menyatakan maksud dalam persyaratan yang
jelas dan tertulis.
Sistem Hukum
Secara garis besar di dunia ini
meskipun dikenal ada lima sistem hukum, yaitu; Civil law, common law, socialis
law, islamic law dan sistem hukum adat, tetapi sesungguhnya yang dominan
dipakai di dunia internasional hanyalah dua, yaitu sistem hukum civil law dan
common law.
Dalam pembentukan kontrak, terdapat perbedaan antara common law dan
civil law. Akibat perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam penyusunan ketentuan
kontrak internasional.
Sehubungan dengan
perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka kemudian dalam rangka merancang
suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep perjanjian pun dengan sendirinya
mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun zaman terus bergerak, dan tiba
saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau mempengaruhi sistem hukum yang
diterapkan, apabila terjadi perjumpaan antara sistem hukum yang berlainan.
Common Law
Dalam pembuatan kontrak di
sistem common law, para pihak memiliki kebebasan untuk menyepakati persyaratan
yang diinginkan, sepanjang persyaratan tersebut tidak melanggar kebijakan
publik ataupun melakukan tindakan yang melanggar hukum. Jika ada persyaratan
tertentu yang tidak tercakup, hak dan kewajiban yang wajar akan diterapkan
diambil dari ketetapan hukum yang ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan
oleh para pihak atau industri. Biasanya kerugian di ukur dengan lost benefit of
the bargaine (manfaat/keuntungan yang harus di dapat yang hilang).
Peraturan ini memberi kesempatan
kepada satu pihak untuk menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa
dibuktikan yang akan diperoleh pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar
kontrak. Di kebanyakan jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar
ganti rugi akibat pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi kerugian.
Kontrak menurut sistem hukum common law, memiliki
unsur sebagai berikut:
A.
Bargain
Unsur
bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah
menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain , dalam hubungannya dengan konsep
penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjian dan
merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam
konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk
melakukan pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau janji-janji antara
satu pihak dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan
terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari
para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan kemudian
memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pengertian penawaran merupakan suatu kunci yang digunakan untuk lebih mengerti
tentang penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.
B. Agreement
Suatu
proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance, yang
ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak.
Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun
fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah
diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan
penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem common law, sangat
diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap
sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat,
saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur
dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan
keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak
ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini
memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
C.
Consideration
Dasar
hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang
kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji
yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan
memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia
telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk
perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya
suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal
dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda dan
merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan penjelasan yang
memuaskan dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di
mengerti atas dasar pengalaman.
D.
Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang,
apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan. Suatu kontrak
yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk melakukan hal tersebut dianggap tidak
berlaku.
Sebagai
illustrasi dapat diuraikan putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V.
Hays di mana memutuskan bahwa kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individu
yang belum dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang
telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini
terlihat bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk
seseorang dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya
dilakukan oleh orang dewasa, namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut
dilakukan dengan sengaja untuk melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan
membatalkan ketentuan kontrak tersebut.
Civil law
Kebanyakan negara yang tidak
menerapkan common law memiliki sistem civil law. Civil law ditandai oleh
kumpulan perundang-undangan yang menyeluruh dan sistematis, yang dikenal
sebagai hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan. Teori mengatakan
bahwa civil law berpusat pada undang-undang dan peraturan. Undang-Undang
menjadi pusat utama dari civil law, atau dianggap sebagai jantung civil law.
Namun dalam perkembangannya civil law juga telah menjadikan putusan
pengadilan sebagai sumber hukum.
Di banyak hukum dalam sistem
civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung kerugian karena pelanggaran
kontrak. Standar mengenai penghitungan kerugian ini masih tetap belum jelas di
banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian pengadilan di negara-negara
ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang salah tidak dengan uang,
tetapi dengan pelaksanaan tindakan kontrak tertentu.
Keputusan pengadilan ini
mengisyaratkan salah satu pihak untuk menjalankan tindakan tertentu yang
dimandatkan oleh pengadilan, seperti mengembalikan hak milik atau mengembalikan
pembayaran. Banyak sistem dari civil law memiliki mekanisme penegakan dan
pamantauan agar penegakan bisa dijalankan secara efektif.
Unsur
kontrak dalam civil law sitem terdiri dari empat unsur, yaitu :
a.
Kapasitas Para Pihak
Kebebasan
kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan seseorang yang
terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan
perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu
menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah
mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak harus telah berumur 21 tahun.
Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa
kehendak individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang meliputi hak
dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus sesuai dengan hukum tertulis,
yaitu hukum perdata.
Di
Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan sebagai subjek hukum
dapat melakukan kontrak melalui pengurus perusahaan. Di Indonesia pengurus
perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam melakukan
kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi ketentuan anggaran dasar
perusahaan dan peraturan perundang-undangan, yang memberikan kepadanya kapasitas
dalam melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan hukum lainnya. Hal inilah
yang dikatakan dalam civil law merupakan the code granted them full capacity.
b.
Kebebasan Kehendak Dasar Dari
Kesepakatan.
Kebebasan
kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif
harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan
penipuan(fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak, pengadilan di Perancis
menerapkan ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak
lain. Dalam kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap mampu melaksanakan
kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara mereka
tidak boleh membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.
Kesepakatan
di antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata menetukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan
tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas
konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian
bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh
sepakat pihak lainnya.
c.
Subjek yang pasti
Merujuk
pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act, suatu perjanjian
dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek
yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak, pelayanan
(jasa), barang-barang yang ada atau akan masuk keberadaannya, selama mereka
dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian telah terbentuk tidak mungkin
untuk melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
d.
Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible
Cause)
Perjanjian
tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat
terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337
KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian
yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat
untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah tidak sah.
Prinsip Pilihan Hukum
Melakukan kontrak bisnis lintas
batas negara, para pihak akan dihadapkan dengan pilihan hukum. Dalam penentuan
pilihan hukum, dikenal beberapa prinsip dan batas pilihan hukum antara lain
yaitu :
a.
Partijautonomie
Menurut
prinsip ini, para pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka
pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian
sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat.
Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh
sebagian besar negara, seperti Eropa (Italia, Portugal, Yunani), Eropa Timur
(Polandia, Cekoslowakia, Austria), negara-negara Asia-Afrika, termasuk
Indonesia dan negara-negara Amerika, khususnya Kanada.
b. Bonafide
Menurut
prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik (bonafide), yaitu
semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang
lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi (isi perjanjian).
c.
Real Connection
Beberapa
sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang
dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan pada hukum
yang dipilih.
d.
Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak yang diberi
kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan
itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.
e.
Ketertiban Umum
Suatu pilihan hukum tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu bahwa hukum yang dipilih oleh para
pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat,
hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum (orde
public) merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan
hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar